Kompetensi
Dasar untuk SMA kelas X :
3.1
Menganalisis kasus-kasus pelanggaran HAM dalam rangka pelindungan dan pemajuan
HAM sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
A. Pengertian Afektif
Menurut Nana
Sudjana (2004:53), ranah afektif ialah ranah yang berkaitan dengan sikap dan
nilai. Beberapa pakar mengatakan, bahwa sikap seseorang dapat diramalkan
perubahan-perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif
tingkat tinggi.
Menurut David
R. Krathwohl (1964:7), mendefinisikan ranah afektif Affective, objectives
which emphasize a feeling tone, an emotion, or degree of acceptance or
rejection.3 Afektif ialah perilaku yang menekankan perasaan, emosi, atau
derajat tingkat penolakan atau penerimaan terhadap suatu objek.
Syamsu Yusuf
LN (2004:9), mengatakan bahwa ranah afekif pada dasarnya merupakan tingkah laku
yang mengandung penghayatan suatu emosi atau perasaan tertentu. Contoh ikhlas,
senang, marah, sedih, menyayangi, mencintai, menerima, menyetujui dan menolak.
Menurut
Muhibbin Syah (1995:54), ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada
peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya terhadap mata
pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinan dalam mengikuti pelajaran agama
di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran
agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru
agama pendidikan agama Islam dan lain sebagainya. Dengan demikian, evaluasi
ranah afektif ialah penilaian terhadap aspek sikap siswa untuk mengetahui
sejauhmana perilaku siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Menurut
Krathwohl (1964:54-56), ranah afektif ditaksonomikan menjadi lebih rinci lagi
ke dalam lima jenjang, sebagai berikut:
1. Menerima atau memperhatikan (receiving atau
attending)
Menerima atau memperhatikan (receiving atau attending) ialah
kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang
kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain, termasuk
dalam jenjang ini misalnya ialah kesadaran dan keinginan untuk menerima
stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang
dari luar. Receiving atau attenting juga sering diberi pengertian
sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek.
Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia untuk menerima
nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau
menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentikkan diri dengan nilai
itu. Contoh hasil belajar afektif jenjang receiving, misalnya ialah peserta
didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak
berdisiplin harus disingkirkan jauh-jauh.
2. Menanggapi (responding)
Menanggapi (responding) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”.
Jadi, kemampuan menanggapi ialah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat
reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Jenjang ini setingkat ranah afektif receiving.
Contoh hasil belajar ranah afektif jenjang responding ialah peserta didik
tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi,
ajaranajaran Islam tentang kedisiplinan.
3. Menilai/menghargai (valuing)
Menilai/menghargai (valuing) yang dimaksudkan ialah memberi nilai
atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga
apabila kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan,
dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan tingkatan
afaktif yang lebih tinggi lagi dari pada receiving dan responding. Dalam kaitan
dengan proses belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima
nilai yang diajarkan, tetapi mereka telah mampu untuk menilai konsep atau
fenome, yaitu baik atau buruk. Bila sesuatu ajaran yang telah mampu mereka
nilai dan telah mampu untuk mengatakan “itu ialah baik”, maka ini berarti bahwa
peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu telah mulai dicamkan
(internalized) dalam dirinya. Dengan demikian, maka nilai tersebut telah
stabil dalam diri peserta didik. Contoh hasil belajar afektif jenjang valuing
ialah tumbuhnya kemauan yang kuat pada diri peserta duduj untuk berlaku
disiplin, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan
masyarakat.
4. Mengatur atau mengorganisasikan (organization)
Mengatur atau mengorganisasikan (organization) ialah mempertemukan
perbedaan nilai, sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa
kepada perbaikan uum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan
nilai dari ke dalam satu system organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu
nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
Contoh hasil belajar afektif jenjang organization ialah peserta didik mendukung
penegakan disiplin nasional. Mengatur dan mengorganisasikan merupakan jenjang
sikap atau nilai yang lebih tinggi lagi ketimbang receiving, responding dan
valuing.
5. Karakterisasi dengan suatu nilai atau
kompleks nilai (characterization by a value or value complex)
Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai (characterization
by a value or value complex) ialah keterpaduan semua sistem nilai yang
telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah
lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi
dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada
sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya.
Hal ini ialah merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin
peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki philosophy of
life yang mapan. Jadi, pada jenjang ini peserta didik telah memiliki system
nilai yang mengotrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama,
sehingga membentuk karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap,
konsisten dan dapat diramalkan.
Karakteristik
afektif
Ada 5 tipe karakteristik afektif
yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan
moral.
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak
suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan
menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima
informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran,
tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu.
Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta
didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang
dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek,
situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap
terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting
untuk ditingkatkan (Popham, 1999).
2. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir
melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus,
aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.
Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau
keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting
pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik
afektif yang memiliki intensitas tinggi.
3. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap
kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri
pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya
orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif
atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum,
yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu
dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif
karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting
bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari
penilaian diri adalah sebagai berikut:
a) Pendidik mampu mengenal kelebihan dan
kekurangan peserta didik.
b) Peserta didik mampu merefleksikan
kompetensi yang sudah dicapai.
c) Pernyataan yang dibuat sesuai dengan
keinginan penanya.
d) Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian
kegiatan peserta didik.
e) Peserta didik lebih aktif dan
berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
f) Dapat digunakan untuk acuan menyusun
bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
g) Peserta didik dapat mengukur kemampuan
untuk mengikuti pembelajaran.
h) Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan
belajarnya.
i) Melatih kejujuran dan
kemandirian peserta didik.
j) Peserta didik mengetahui
bagian yang harus diperbaiki.
k) Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
l) Pendidik memperoleh masukan
objektif tentang daya serap peserta didik.
m) Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial,
hasilnya dapat untuk instropeksi
pembelajaran yang dilakukan.
n) Peserta didik belajar terbuka dengan orang
lain.
o) Peserta didik mampu menilai dirinya.
p) Peserta didik dapat mencari materi
sendiri.
q) Peserta didik dapat berkomunikasi dengan
temannya.
4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan,
tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya
dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar
objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu
seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif.
Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada
situasi dan nilai yang diacu.
5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang per-kembangan moral anak. Namun
Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan
tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran
respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana
sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang
lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya
menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik
maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang,
yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan
dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
Ranah
afektif lain yang penting adalah:
a) Kejujuran: peserta didik harus belajar
menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain.
b) Integritas: peserta didik harus
mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.
c) Adil: peserta didik harus berpendapat
bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
d) Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa
negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal
kepada semua orang.
Pentingnya
penilaian afektif
Menurut Popham (1995),
ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak
memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan
belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran
diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua
pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai
kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan
untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat
nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang
program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh
kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan
sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran
tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal.
PENERAPAN
PENILAIAN AFEKTIF
Penilaian dilaksanakan selama proses dan hasil pembelajaran yang dignakan
adalah tes objektif dan menggunakan skala sikap
KISI-KISI SOAL RANAH AFEKTIF
NO
|
INDIKATOR
/TUJUAN
|
MATERI
|
BAHAN KELAS
|
INDIKATOR SOAL
|
BENTUK SOAL
|
NO SOAL
|
1.
|
Siswa mampu menganalisis
kasus-kasus pelanggaran HAM dalam rangka pelindungan dan pemajuan HAM sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
|
Pelanggaran
HAM dan perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia
|
X
Semester I
|
1. Pancasila
mengandung nilai-nilai yang patut dipertahankan.
|
Skala Likert
|
1
|
2.Gagasan
Pancasila sebagai ideologi tidak cocok dengan kepribadian Indonesia
|
Skala Likert
|
2
|
||||
3. Pancasila
memiliki nilai yang tetap namun dinamis
|
Skala Likert
|
|||||
4. Ideologi
tertutup paling cocok diterapkan di Indonesia
|
Skala Likert
|
B. Bentuk Non
Tes Skala Sikap Likert
Petunjuk : Berilah tanda cross (x) pada salah
satu kolom jawaban dibawah ini sesuai dengan kejujuran (sesuai dengan apa
adanya)
NO
|
PERNYATAAN
|
SS
|
S
|
TS
|
STS
|
KETERANGAN
|
1.
|
Seluruh
pelanggar HAM berat harus dihukum sesuai dengan perbuatannya
|
|||||
2.
|
Upaya
penegakan hanya harus dilakukan oleh pemerintah dan polisi saja
|
|||||
3.
|
Mendukung
pelaksanaan dari instrumen-instrumen HAM
|
|||||
4
|
Pelanggaran
HAM dianggap telah menurunkan moral
|
|||||
5
|
Anak melawan/menganiaya/membunuh
saudaranya atau orang tuanya sendiri.
|
|||||
6
|
Orang tua
menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.
|
|||||
7
|
Orang tua yang memaksakan
keinginannya kepada anaknya (tentang masuk sekolah, memilih pekerjaan,
dipaksa untuk bekerja, memilih jodoh).
|
|||||
8.
|
Diperbolehkan
menganggu etnis lain
|
KETERANGAN :
SS
: Sangat Setuju
S
: Setuju
TS
: Tidak Setuju
STS
: Sangat Tidak Setuju
Komentar
Posting Komentar